Akhir-akhir ini saya kembali menikmati menjadi seorang pejalan kaki. Menyenangkan sekali bisa menyusuri kota, melangkahkan kaki di atas trotoarnya, hingga masuk ke gang-gang sempit. Melihat lebih dekat apa yang selama ini terlewat. Seringkali kita melewatkan suatu hal atau tempat ketika berkendara, namun akan berbeda cerita jika sedang berjalan kaki.
Beruntung saya menemukan Bersukaria yang cukup sering mengadakan walking tour di kota Semarang. Tak hanya berjalan kaki, namun kita akan diajak menelusuri tempat-tempat bersejarah dan juga cerita menarik lainnya. Saya sendiri sudah beberapa kali mengikuti tur jalan kaki yang diadakan setiap akhir pekan ini. Terkadang pada saat sore ketika matahari sudah tidak terlalu terik, namun tak jarang pula diadakan pada pagi hari.
 |
Terbengkalai. |
Seperti pada Minggu pagi itu, saya dan beberapa teman lain sudah berkumpul di depan Hotel Dibya Puri yang terbengkalai. Kali ini kami akan diajak menjelajah kampung Kauman dan sekitarnya. Saya sangat antusias sekali, karena ini merupakan rute baru yang diadakan oleh Bersukaria.
Baca Juga: Semarang dari Kampung ke Kampung
Sebagai titik kumpul, hotel Dibya Puri menjadi topik bahasan pertama. Mas Dimas Mas Fauzan saling bergantian memberi penjelasan tentang bangunan yang dulunya bernama Hotel Du Pavilion ini.
“Awalnya hotel ini di bangun pada tahun 1847. Sempat mengalami renovasi besar-besaran untuk menyambut perhelatan Koloniale Tentoonstelling yang digelar pada tahun 1914,” Tutur Mas Dimas.
Hotel yang terbilang mewah pada masanya ini terletak pada posisi yang sangat strategis. Berada di tepi Jalan Raya pos (sekarang Jl Pemuda) tak jauh dari Kota Lama yang merupakan pusat bisnis dan perkantoran. Juga dekat dengan kantor pos sebagai sarana komunikasi utama yang cukup penting.
 |
Mari bersukaria! |
Sempat pula menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang pada masa kemerdekaan. Meski statusnya sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang wajib dikonservasi, tak menjamin hotel Dibya Puri bernasib baik seperti cagar budaya lainnya di Semarang. Kerusakan muncul di sana-sini karena konstruksi bangunan yang dimakan usia. Bahkan di beberapa bagian sudah hampir roboh.
Beranjak meninggalkan hotel Dibya Puri yang sedang menanti ajal, kami menuju Masjid Kauman yang berada tak jauh darinya. Berdiri kokoh di antara hiruk-pikuk pasar Yaik, lapak pedagang kaki lima, hingga pangkalan angkot. Dikenal juga dengan sebutan Masjid Agung Semarang. Namun tak sedikit yang salah mengira bahwa Masjid Agung Semarang adalah Masjid Agung jawa Tengah yang baru selesai dibangun pada 2006 silam.
 |
Gapura Masjid. |
 |
Masjid Besar Kauman. |
“Masjid Kauman ini juga seperti masjid-masjid kuno lainnya, khususnya di pulau Jawa. Dimana masjid berada di pusat kota, dekat dengan alun-alun dan pusat pemerintahan. Jadi seperti itulah ciri khas tata ruang kota pada jaman dahulu.”
Namun sayangnya alun-alun kota Semarang yang tadinya berada di depan masjid, telah lenyap sejak lama. Salah satunya dikarenakan beralih fungsi menjadi kawasan komersil. Di antaranya Pasar Yaik, Hotel Metro dan gedung BPD, yang kemudian dikenal sebagai Kawasan perdagangan Johar.
Baca Juga: Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham
Masjid Kauman ternyata juga menyimpan sejarah yang menarik. Tepatnya ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, yang bertepatan dengan hari Jumat. Sesaat sebelum sholat Jumat dilaksanakan, kemerdekaan Indonesia diumumkan secara terbuka melalui mimbar masjid. Konon, masjid Kauman menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang melakukan hal tersebut.
Adalah seorang dokter muda yang juga jamaah aktif di masjid tersebut. Dengan keberaniannya mengumumkan terjadinya proklamasi kemerdekaan. Namun sayangnya setelah peristiwa tersebut beliau menjadi buronan tentara Jepang. Dan harus melarikan diri hingga Jakarta sebelum akhirnya tewas.
 |
Salah satu prasasti, berbahasa Melayu. Pada masa itu bahasa Indonesia belum diresmikan. |
“Masjid Kauman pernah dilanda kebakaran hebat yang menghanguskan seluruh bangunan karena sambaran petir,”
Peristiwa yang terjadi pada 1885 tersebut tercatat pada salah satu prasasti yang terdapat pada gapura masjid. Uniknya, ada empat prasasti yang ditulis dalam empat bahasa berbeda, yaitu bahasa Jawa, Melayu, Arab dan Belanda.
Kampung Kauman dapat ditemui di hampir seluruh kota-kota besar di pulau Jawa. Tak terkecuali di Semarang, yang memiliki sejarah panjang dalam penyebaran agama Islam. Kampung Kauman sendiri biasanya berada di sekitar masjid besar. Menariknya, secara administratif Masjid Kauman Semarang tidak berada lagi dalam wilayah Kelurahan (Kampung) Kauman, melainkan Kelurahan Bangunharjo, Semarang Tengah.
 |
Rumah tradisional. |
 |
Kayu masih menjadi bahan utama. |
 |
Bersandar. |
Kami diajak menyusuri gang demi gang, mengitari kampung Kauman. Berbelok dari satu gang ke gang lain yang lebih sempit. Beberapa rumah tradisional yang sebagian besar terbuat dari kayu sebagai bahan utama menarik perhatian kami. Ukurannya yang cukup mungil seakan menegaskan terbatasnya lahan untuk pemukiman di perkotaan seperti Semarang.
Nama Kauman sendiri ada yang mengatakan berasal dari nggone wong kaum (tempatnya para kaum). Namun tak sedikit pula yang berpendapat bahwa Kauman diambil dari kata qo’um maddin yang berarti pemuka agama Islam. Jadi bisa disimpulkan Kauman merupakan tempat tinggal para pemuka agama yang melakukan aktivitas keagamaan di Masjid Besar Kauman.
Kampung Kauman terdiri dari beberapa kampung kecil. Nama-nama kampung tersebut dapat menunjukkan keadaan setempat, atau jenis aktivitas masyarakatnya. Seperti misalnya kampung Butulan, yang berasal dari kata butul (tembus), dikarenakan di kampung tersebut terdapat jalan tembus. Kampung Kepatehan dikenal karena beberapa warganya yang memproduksi teh. Atau kampung Krendo yang diambil dari kata krendo (keranda), menunjukkan bahwa dulunya kampung tersebut adalah tempat untuk meyimpan keranda jenazah.
 |
Tertutup. |
 |
Butulan, berarti jalan tembus. |
 |
Gang sempit. |
Pada awalnya sebagian besar penduduk kampung Kauman adalah warga pribumi. Akan tetapi dalam perkembangannya kampung ini dihuni dari beragam etnis seperti misalnya Tionghoa, Arab hingga Melayu. Aktivitas masyarakatnya pun tk hanya seputar keagamaan saja, melainkan juga bisnis. Mengingat letaknya yang dekat dengan pusat perdagangan seperti pasar Johar, sebagian warganya juga menggantungkan hidup dengan berjualan di pasar.
Cuaca yang cukup terik tak sedikit pun menyurutkan semangat kami untuk terus berjalan kaki. Pemberhentian selanjutnya adalah bekas bangunan pasar Johar yang kini mengenaskan. Sejak dilanda musibah kebakaran dua tahun yang lalu, belum ada tanda-tanda bangunan pasar ini akan direnovasi kembali.
Baca Juga: Mencari Ketenangan di Tepian Laut Utara
Sebenarnya tidak disarankan untuk memasuki bangunan ini secara bebas. Bukan apa-apa, hanya mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Mengingat di beberapa bagian sudah terlihat keretakan yang cukup lebar, ditakutkan bisa roboh sewaktu-waktu. Pengalaman yang tidak menyenangkan kami dapatkan disini. Seseorang yang mengaku menjaga kawasan ini meminta sejumlah uang sebagai ‘retribusi’, dengan pandangan yang kurang bersahabat.
 |
Tiang-tiang telanjang. |
 |
Ruang kosong, tak ada lagi pertemuan penjual dan pembeli. |
Saya tercekat, melihat kondisi terkini pasar Johar yang berakhir mengenaskan seperti itu. Akan tetapi kemegahan bangunannya masih sangat terasa, meski hanya menyisakan ruang-ruang kosong tanpa satu pun pedagang selayaknya sebuah pasar. Hingga kini pasar Johar memang masih bediri, namun ia tak lagi utuh.
Sejarah pasar Johar berawal ketika banyak orang yang berdagang di depan penjara, di sebelah timur alun-alun Semarang. Para pedagang tersebut melayani para keluarga tahanan yang akan membesuk. Untuk mencegah kawasan tersebut berubah menjadi kumuh, ditanamilah dengan bibit pohon Johar pemberian Ki Ageng Pandanaran.
Lalu pada 1930an, pemerintah kotapraja Semarang berencana membangun pasar sentral yang lebih besar. Dengan menggabungkan beberapa pasar yang sudah ada seperti pasar Johar, Pedamaran, Beteng dan Jurnatan. Herman Thomas Karsten, seorang arsitek humanis berdarah Belanda ditugaskan untuk merancang bangunan pasar tersebut.
 |
Djohar nasibmu kini. |
Kondisi iklim tropis serta perilaku masyarakat Semarang menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan. Hasil rancangan tersebut memungkinkan cahaya matahari bisa masuk ke seluruh penjuru bangunan pasar. Namun tetap memperhatikan sirkulasi udara agar hawa panas bisa berkurang.
Hasilnya adalah sebuah bangunan pasar dengan arsitektur yang luar biasa. Bahkan konon disebut-sebut sebagai pasar terbesar dan terindah di Asia Tenggara pada masa itu. Pilar-pilar berbentuk cendawannya juga menjadi ciri khas tersendiri.
Tanpa terasa kami sudah tiba di penghujung walking tour pagi itu. Kami diajak menyusuri hiruk pikuk pasar ikan Jurnatan menjelang siang. Kami diperlihatkan tulisan: Faberik Hygeia pada sebuah dinding yang kusam, di atas terpal lapak-lapak pedagang.
Hanya tulisan tersebut yang tersisa dari sebuah pabrik air minum kemasan pertama di Hindia belanda dengan merk Hygeia itu. Pabrik yang didirikan oleh Hendrik Freerk Tillema ini juga memproduksi minuman bersoda. Produk Hygeia cukup fenomenal pada masa itu.
 |
Hygeia. |
Nama Hygeia diambil dari mitologi Yunani, yang merupakan anak dari Asklepios, dewa pelindung kesehatan. Produknya yang dikenal luas tak lepas dari promosi masif yang dilakukan oleh Tillema. Mulai dari reklame yang terpampang di bermacam tempat, hingga selebaran yang disebar melalui balon udara.
Berjalan kaki bisa menjadi aktivitas menyenangkan dan tentu saja murah meriah. Tak hanya baik untuk kesehatan, tapi juga membuka mata kita terhadap sekitar dan wawasan baru. Terbukti dari tempat-tempat yang kami singgahi tadi sebenarnya cukup sering saya lewati. Namun hanya sedikit yang saya ketahui tentangnya.
Jadi mari berjalan kaki, mari bersukaria!